Monday, May 24, 2010
ISLAMABAD – Relatives of three men detained by Pakistan for alleged links to the suspect in the attempted Times Square bombing say the men are innocent.
They
Thursday, August 6, 2009
AFP - Thursday, August 6TAIPEI (AFP) - - Taiwan's Beijing-friendly government on Wednesday denied boycotting an Australian film festival amid a row over the e
Thursday, September 3, 2009
By Sarah Marsh and Noah Barkin
BERLIN (Reuters) - Chancellor Angela Merkel suffered a double blow on Thursday as a senior party ally in east German
Old World News
- Pakistanis angry over detentions in Times Sq. case
- Taiwan denies boycotting Australian film festival
- Merkel's support dips, regional ally resigns International
- Minister seeks closure of anti-Berlusconi websites
- Asian markets mixed after Wall Street rally
- Researchers Discover Ruins Of Entire City In Peru
- Banks Agree To Foreclosure Moratoriums Until Obama Details Housing Plan
- Pria yang Lompat dari Menara BCA Berusia 40-an Tahun, Lompat dari Lantai 56 | 9 October 2014
- detikcom - Myanmar Perpanjang Penahanan Suu Kyi Hingga 6 Bulan | 28 November 2005
- Boediono Minta Masyarakat Jangan Terlena dengan Sumber Daya Alam | 11 February 2013
- detikSport : Situs Warta Era Digital | Fergie Tak Ingin Kenangan Pahit Berulang | 27 August 2008
Other News on Rabu, 23 November 2011
situs warta era
GeekBench
BlogMeter 1.01
Forum Views () Forum Replies ()
MENGULITI PUISI:
PUISI SAPARDI
kucabuti segala kata hujan hingga penyair kedinginan
apalagi setelah hujan tak bisa meludahi malam
makin pualam wajahnya makin kelam sorot matanya
kemudian merenangi akuariumnya yang sunyi
sampai kutemukan sepotong dukanya makin mengabadi
kukutungi semua kata yang berbicara tentang bulan Juni
hingga tak lagi ada matahari dan bayang-bayang
yang senantiasa bercakap di belakang urutan penziarah
yang berbisik lirih tentang kapal-kapal kertas
kureka seperti apa jika semua puisi Sapardi kuhitami
pastinya tinggal sehelai kartu pos dan lukisan cat air
yang berbicara tentang cinta yang tak lagi sederhana
sebab ternyata cinta bukan segalanya di dunia fana
PUISI SUTARDJI
seperti juga puisi Sapardi kukuliti milik Sutardji
kucabuti kepala dan huruf besarnya
kuhapus semua huruf yang liar mengubah warna kata
kuhitami jejak jalan keluar dari mesin pintar pengolah kata
seperti puisi Sapardi juga semua kata puisi Sutardji kusuruh harakiri
mereka saling menusuk seperti semut hitam saling membunuh
selayaknya desa yang berperang hanya merebutkan kata cinta terlarang
seperti para tentara Israel dengan pongah membombardir penduduk desa
yang tinggal anak-anak dan sejumlah perempuan renta
juga Amerika Serikat yang dermawan murah hati menjatuhkan bom napalem
di bumi Vietnam Selatan, Afghanistan, juga Irak
demikianlah sajak dan puisi Sutardji tinggal tanda baca saja
MATA PISAU PUISI SAPARDI
kata berujung matanya menetak urat nadi
menggurat dalam daging dan mengiris syaraf
kata itu menusuk kiri kanan syaraf yang terbuka
melelehkan aroma bunga musim semi
dan sebuah kartu pos menggambarinya tentang seseorang
yang berdiri dengan jaket tebal memandang ke dalamnya
PUISI SUBAGIO
dewa mabuk mati di planet menyiulkan keroncong Motinggo
makin akrab kematian itu seakan mega berarak di ranjang
membungkukkan patah punggung tapi tepat saja luput terindu
pada sepi yang meninggi seakan Chairil Anwar di senja pelabuhan kecil
iseng dengan rohnya dan meluncur ke dalam lembah Kilimanjaro
sebuah daerah perbatasan antara bawah sadar dan mimpi yang tak terbantahkan
layang bayangan dan matahari Sapardi yang berebut mata pisau
PUISI RENDRA
demikian juga puisi Rendra sama halnya puisi Sapardi dan Sutardji kupenggali kalimat demi kalimat yang memberontak pada penguasa zalim dan membela si miskin
semua panorama senjakala dan suasana di stasiun bawah tanah di New York kuhitamkan dengan tinta spidol yang beraroma alkohol memabukkan dan meracuni udara kota
puisi Rendra jadi seperti ayam trondol tanpa bulu, gundul tanpa rambut dan botak mengkilap sehingga kehilangan pesona sajaknya
Rendra merunduk dalam belantara kata-kata seperti ketika meringkuk dalam tahanan di jalan Guntur tangannya selalu mengepal meneriakkan perlawanan mirip Wiji Thukul dengan kata lawan yang menghilangkan manusiawinya hingga sekarang
Rendra diam membisu ketika kutawarkan sebatang lisong dan jagung yang teronggok di sudut sekolah tempat guru dan murid bercengkrema melampiaskan hasrat berkuasa dan menangisi usianya yang sia-sia dalam sebuah pidato kebudayaan
PUISI GOENAWAN MOHAMAD
yang satu ini penyair yang bagai guci antik yang retak dalam dingin tak tercatat dan menuliskan kata Sarajevo penuh lalat dan ketidakadilan selayaknya Pulau Buru tempat tapol diperam membajak tanah dan tak lagi berhubungan dengan sanak kerabat maupun dunia yang senantiasa berputar
yang satu ini memang seorang penulis catatan pinggir yang tak mau minggir dari jabatan tertingginya di dunia tulis menulis sehingga menutupi kanal-kanal prioritas penulis muda untuk berkiprah dan menorehkan puisinya di sebuah kalam
yang satu ini senantiasa menyuarakan suara bawah tanah yang menguak ketidakadilan dan kesenjangan budaya antar bangsa
PUISI TALI SUTARDJI
bait puisi melingkari jalan nafas menjerat nadi
merobek mesin kawin yang terdiri dari patahan huruf
PUTU WIJAYA DICABOK PUISI
pergi kataku ke stasiun dan keok oleh yel dan rel juga shit yang mengentuti lho
dalam repertoar seorang kakek yang selalu mengatakan tidak dalam perjalanan dalam bemo dan digantung di depan stasiun kota yang tiba-tiba malam tak sampai tiga bulan
huruf-huruf memberontak menolak memberi makna kata
memburu mimpi penyair dan menyalip di bukit cinta
kemudian kepala itu digosok-gosokan ke dinding bukit berbatu
kemudian bukit berbatu itu bersimbah darah
kemudian darah itu memecah melepaskan diri dari makna huruf
kemudian roboh di atas panggung dan kembali dalam bentuk huruf mesin ketik
penyair dirubungi berhuruf-huruf tanpa berkata-kata yang bermakna
GAS PUISI GOENAWAN MOHAMAD
rima sajak menyesak ke peparu melumpuhkan nadi
menggocangkan dunia kata-kata menjadi dunia guci retak
lalat-lalat berbaris menuruni panggung seusai Naga Taksaka menggigit apel
menusukkan racun bisanya ke tubuh raja lalim Parikesit
yang selingkuh dengan membunuh istri naga
yang memburu keburu-buru membunuh kijang bunting
yang memutuskan perkara dengan niat menguasai harta
yang tidak berani pergi berperang memerangi angkara yang menyengsarakan penduduk
yang menangis setelah dikutuk akan mati digigit ulat yang sembunyi dalam buah jambu
(jadi bukan apel seperti dituliskan dahulu oleh penyair Amerika Serikat!)
KURSI RENDRA LISTRIK PUISI
loncatan aliterasi menyengat di ujung nadi
dan jatuh dalam pelukan malam tanpa bulan Atmo Karpo
bulan khianat menunggang kuda disabit cakrawala
sambil memainkan tambur jalanan sepasang angsa melintasi mega
biru bagai tinta tertumpah di atas seprei putih
dan Tuhan telah menyelinap dalam dadu para penjudi dan disuntik vitamin C
PELURU WIJI THUKUL
metafora menerabas jantung memecah nadi
menusuk jantung dari belakang panggung politik Soeharto
terkapar pada sejarah yang membuka kelopak bunga bangsa teraniaya
lawan atau kawan bagai smokel tak ada beda hanya cuaca yang membalut
dalam cerita badut di kancah ulang tahun anak menjangan
lari dan kau kutembak dengan puisi yang telah mati di tangan seorang istri
PISAU PUISI AFRIZAL
kata berujung matanya menetak urat nadi
membuncah jadi hujan tak beraturan dalam kulkas
daging-daging berunding tentang petaka lampu mati dalam sebuah mall
atau supermarket yang penuh pengunjung menguliti kulit masing-masing
menjadikan soto kikil betawi yang berlemak duren monthong
dan Afrisal menyanyikan lagu hujan yang liris di kasir nomer tujuh
JOKO PISAU PINURBO
kau cari kilat tajam tunggumu mengiris tipis angin sejuk dari kutub selatan bulan Juni
saat celana basah dicuci ibu di tepi kali Bekasi berkibaran di langit tak berawan
biru meruang dalam surat cinta maupun undangan penganugerahan kebudayaan yang retak karena bangsa yang memilih berbeda negara
golok yang kau kibas-kibas memotong huruf jadi kehilangan bunyi
CHAIRIL ANWAR PISAU TUMPUL
perlahan urat leher itu kau lewati dengan ujungmu yang pipih tipis tajam mengiris
dan jadilah penyakit kelamin yang membakar sate daging kambing tanpa jenggot
perlahan kau sabet celana dalam tetangga yang basah seakan hulk yang mereda emosi dan kembali menjadi manusia normal yang melanjutkan hidu seribu tahun lagi sambil mencari rahasia raksasa hijau yang dipanggil hulk
PISAU PISANG EMHA AINUN NAJIB
kata berujung kalimat matanya menetak paragraf urat nadi
dalam kenduri semalaman memata-matai perjalanan hari yang luruh
kata yang diterjang dalam radio delta yang memancar setiap saat dengan ludah petuah
tanpa kata sakti maupun lilit penyair yang memontes pagar bambu pak kyai kanjeng
pisang itu ditendang ke gawang lawan dan gooooooooooooong ong ong koong
PISAU PAJAK PAGI LINUS SURYADI
kau cari kilat tajam hari kemarau tunggumu mengiris tipis angin sepanjang hari sejuk dari kutub selatan bulan separo semangka mereguk sesisir Juni
tapi telah kau rebahkan regol kraton yogya yang megal-megol
dan langit biru menuntun Pariyem ke selangkangan zaman edan
PISAU KUTUSUKKAN PADA PUISI KORAN
perlahan urat leher itu menjulur sesulur kau lewat dengan ujungmu melambai pasti yang pipih tipis tajam mengiris hari jadi terang dan gelap
bencana itu mengendap-endap mencuri saat di sebuah kota mati
hanya batu, pasir gundukan batu dan remah-remah makanan sisa petualang tersesat
saat matahari terbenam dalam saku sang nabi palsu yang menyuarakan suara purna
di halaman muka koran terpampang puisi sekarat terkerat sesayat demi sesayat tiap kata yang tinggal sisa ditinggal mengungsi kata ke kota
dan pemenangnya adalah penyair tua yang suka wanita perjaka untuk dihisap intuisinya
PISAUMU KAUTUSUK DALAM RAHIM KATA
kata tajam berujung duri di matanya menetak pecah urat nadi
merayap di gigir hari yang penuh jelaga
angin merucat diri jadi prahara bersama topan badai merusak susunan kalimat dalam paragrap yang kacau ditinggal mesin ketik untuk mandi dan komputer yang sedang berenang dalam mimpi novelis menyusun batu-batu pijakan
PESAN PISAU PADA SUATU HARI
kau cari kilat tajam pucuk ilalang tunggumu mengiris tipis angin pagi bulan Desember di bumi Paman Agam sejuk dari kutub selatan mengirim bulan Juni dengan lagu musim dingin Seulin yang menatap jendela
kucoba menerjemahkan kata yang merucat jadi nyali dan kekuatan sihir yang meretas mimpi jadi bangkai-bangkai bergerak menuju goa-goa di bukit berbatu membeku dalam mall-mall dan juga toko makanan beku yang memucat tanpa cahaya matahari terpanah satria yang marah
dan ketajaman itu meleleh haripun redup berkerumun huruf tanpa baju memrotes mesin kata yang menelorkan kata baru dan bau
PISAU SEPI PAGI DI PERIGI
perlahan urat leher perawan itu kau lewat dengan ujungmu jari lentik yang pipih tipis tajam mengiris hari makin jelaga
dalam keadaan telanjang kata itu meloncati rel kereta dan menyebrang jembatan besi yang membara
dalam kembara yang tanpa jeda kata itu terus menggauli setiap anak bangsa yang mencoba mendekat pada batas pandang dalam gelap
polisi menangkapi setiap pengendara tanpa kepala memburu kota tanpa peraturan pasti
BENING MATA PISAU DALAM SAKUMU
kata berujung desah konsonan kalimat matanya membuhul malam-malam menetak paragraf jejak kaki melata urat nadi musim yang sembunyi di ketiak mega menyusuri tepi horizon dalam kabut
dalam talam terbaring diam sampai basi sama-sama makanan kucing di antara rak supermarket ramping berputar depan kaca mengikuti irama piano mengambang di antara luka-luka lebam biru karena gempa
cuma satu di padang belantara kera-kera menari selalu memalingkan laras senapan ke arah bunyi berkeretek cukup sudah menguliti kentang dipotong kubus dikukus ditaburi keju dan disangrai
PISAU MENDESAU BEIRINGAN HUJAN TEMARAM
kau cari kilat bayang gedung pencakar langit Jakarta tajam hari kemarau memasang jera tunggumu mengiris jantung jam tipis angin sepanjang celah lembah antara terang tanah hari sejuk dari kutub selatan bulan separo semangka membengkak memenuhi lembaran peristiwa mereguk sesisir Juni basah membubuti serangga menuju masa tidur hibernations
aku bungkukkan badan menatap matahari dalam kubangan si angsa di tengah bebek bebek betina centil dia lahir tanpa sengaja pada saat malam pekat tanpa cahaya tegak membaca doa di tengah padang saat terik siang
AQUARIUM PISAUMU ABADI SAPARDI
perlahan urat leher itu berbaris di tepi sungai menjulur sesulur kau lewat pantai berpasir dengan ujungmu melambai pasti yang pipih tipis tajam mengiris hari pernikahan musim jadi terang dan gelap apalagi setelah hujan tak bisa meludahi malam makin pualam wajahnya makin kelam sorot matanya kemudian merenangi akuariumnya yang sunyi hingga tak lagi ada matahari dan bayang-bayang yang senantiasa bercakap di belakang urutan penziarah yang berbisik lirih tentang kapal-kapal kertas
TALI TEMALI PUISI LELAKI TANPA ISTRI
bait puisi melingkari jalan nafas menjerat nadi
merayap di gigir hari yang penuh jelaga
hingga tak lagi ada matahari dan bayang-bayang
yang berbisik lirih tentang kapal-kapal kertas
kata tajam berujung duri di matanya menetak pecah urat nadi
yang senantiasa bercakap di belakang urutan penziarah
siapa kita?
(swara yang menggema dalam kata tebing longsor di kota tua itu)
BIODATA
Nama: Cunong N. Suraja
Lahir: Yogyakarta, 9 Oktober 1951
Menulis thesis tentang PUISI DIGITAL untuk S2 di FIB-UI jurusan Susastra (2006)
Karya-karyanya tercetak pada buku terbitan YMS Jakarta
Mengajar di Universitas Pakuan dan Ibn Khaldun Bogor
KARYA TULIS
Bulak Sumur – Malioboro.
Baca Selengkapnya di site KOMPAS.com - Puisi-puisi Cunong N. Suraja
, atau bila sudah menghilang, bisa baca di cache server kami.
Berita Acak dari arsip :